Selasa, 12 Februari 2013

Ngayogyakarta Hadiningrat

Beruntunglah anda yang terlahir atau paling tidak pernah mengenyam kehidupan disebagian kepingan bumi bernama Yogyakarta. Tuhan dengan penuh kecermatan menata dan melukis hamparan ngarai diselatan Gunung Merapi ini, lengkap dengan segala fasilitasnya.
Senyum dan tawa penuh keramahan adalah salah satu ciri khas habitat dan ekosistem disini. Bahkan mereka sanggup tetap tersenyum saat musibah menghadang seperti waktu gempa 6,2 SR pada 27 Mei 2006 meluluhkan Jogja.
Kekayaan dan keunikan antara lain terceminbegitu banyaknya istilah untuk menyebut wilayah ini. Nama lengkapnya adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Harapannya supaya bisa sejahtera dan semegah Ayodya, negri Sri Rama pada dunia pewayangan. Nama ini hadir saat perjanjian Gianti 13 Februari 1755, yang membagi wilayah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa Ngayogyakarta Hadiningrat kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan dengan gelar Sri Paduka Hamengku Buwono I. Calon ibukotanya dipilih dusun Pacethokan, yang terletak antara Kali Winongo dan Kali Code, yang saat itu masih dipenuhi pohon prng atau bambu (kemudian dieja menjadi beringan).
Sambil menunggu proses pembabatan hutan bagi calon ibukota, maka sementara Pangeran Mangkubumi tinggal di Pasenggrahan Ambarbinangun, di lembah timur Gunung Gamping dan Kali Bedog, sekitar 5 km arah barat istana sekarang ini.
Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Februari 1757, kawasan beringin sudah menjadi lengkap dengan segala fasilitasnya yang biasa disebut macapat atau pojok papat (empat pojok), yaitu alun alun yang dikitari istana sultan, Pasar, Penjara; ditambah lima kiblat berupa Masjid Gedhe. Kawasan beringan ini diharapakan bisa Harjo (ramai dan sejahtera) dikelak kemudian hari. Maka, kawasan itu kemudian dikenal menjadi Beringharjo.
Kawasan istana itu ditandai dengan tembok keliling (Njeron Beteng : sekarang biasa diplesetkan sebagai kawasan Tembok Berlin) yang dibagi sesuai dengan fungsinya atau profesi penghuninya.
Untuk menopang Njeron Beteng, dibangun pula kawasan bagi para prajurit. Misalnya, Patangpuluh(an); Wirobraja(n); Bugis(an) dan lain lain. Tempat itulah yang oleh sejarawan sering disebut cikal bakal berdirinya negara kota (city state). Maka jangan kaget kalau banyak orang dari luar kota, misalnya Gunungkidul kalau hendak pergi ke kota jogja, sering menyebut "Badhe dhateng negari" (akan pergi kenengara)
Jika ditelisik lebih mendalam Ngayogyakarta Hadiningrat, generasi sebelumnya telah menamai sebagai bumi Mataram. Maka jangan heran kalaunklub sepakbola dikota ini dinamai PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram)
Konon istilah Mataram sudah ada sejak zaman kuno, ditandai dengan prasasti Maklumat Canggal
 (732M) dihulu Kali Progo dan keberadaan Balitung (898-910 M).
Konon, panembahan senopati pernah berwasiat:"Bumi Mataram ini akan makmur dan sejahtera, menemukan kejayaannya jika suatu hari nanti Kali Progo bersatu dengan Kali Opak."
Kini keberadaan Selokan Mataram yang mengalir dari Ancol, Kulon Progo hingga Kalasan telah menyatukan aliran Kali progo dengan Kali Opak. Apakah Bumi Mataran sudah makmur dan sejahtera? Mungkin sudah, ya? Buktinya antar lain bisa kita lihat disepanjang kawasan tepian Selokan Mataram, sejak dari Pogung, Bulaksumur,Ambarukmo, Seturan hingga Babarsai.


"NEW YORK ART(O)  FOR BEGINNERS"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar